Mendaki gunung adalah salah satu episode terindah di hidup gue. Dan gue ngga punya banyak penjelasan yang bisa gue utaraiin kenapa gue pernah (mungkin masih) begitu mencintai puncak-puncak gunung. Gue pernah begitu mencintai kesunyian yang sakral, yang hanya di penuhi oleh desir angin, gesekan daun, kicauan burung, dan aroma khas hutan. Pokoknya semua suasana syahdu yang saat ini cuma tertanam dalam hati dan ingatan gue. Tertanam lekat bagaikan fosil yang baru di temukan setelah ribuan tahun.
Waktu muda dulu, gue pernah punya cita-cita duduk di puncak Jayawijaya, Everest, Kilimanjaro, dan Aconcagua, sambil membayangkan diri gue terpuruk di ketinggian yang lebih tinggi dari awan-awan, terhenyak dalam kesendirian, dan betapa dekatnya dengan Tuhan, Sang Pencipta semesta alam. Sayangnya, gue ngga pernah merealisasikan cita-cita itu.
Walau menyesal, tapi gue ngga sepenuhnya menyesal. Karena gue sadar, mungkin bukan seperti itu kisah hidup gue harus di lukisakan.
Nyatanya, kisah hidup gue adalah bertemu dengan wanita cantik yang gue cintain, menikah, dan ‘menemukan’ cita-cita dan mimpi gue dalam bentuk yang lain bersamanya. Edelweis and Berlian, 2 cewek cantik yang menggemaskan, yang Tuhan anugerahkan ke gue.
Dan lewat mereka, gue bisa lebih merasa begitu dekat dengan Tuhan.
Sekarang gue 49 taon, dan gue ngga tahu bagaimana lukisan kisah gue selanjutnya. Dan sebagaimana mendaki gunung, gue cukup jalan aja selangkah demi selangkah, hingga akhirnya ‘puncak’ itu gue capai. Puncak yang merupakan akhir bagaimana kisah hidup gue di lukiskan.
Di sisa perjalanan gue, ada satu keyakinan yang gue harap bisa gue pegang teguh, yakni: gue sadarin apa engga, Tuhan menyertai perjalanan gue.
Yeremia 17: 7 - 8
14 November 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar